Juli 29, 2012

Senja di Chao Phraya




Judul Buku : Senja di Chao Phraya
Penulis : Endah Raharjo
Pemerhati Aksara : F. Winiarrum & Denieka
Penerbit : LeutikaPrio
Cetakan Pertama : 2012
Tebal : 326 halaman, paperback
ISBN : 978-602-225-432-4






Akhirnya saya mengkhatamkan buku ini. Sejak awal buku ini muncul di Goodreads, saya sudah tertarik dengan judulnya. Well, juga covernya, yang mengundang rasa penasaran tentang Senja di Chao Phraya.

Larasati adalah seorang wanita berusia 44 tahun yang memiliki pekerjaan sebagai seorang antropolog. Ia janda beranak dua, Mega dan Angka yang sudah remaja. Pekerjaan Laras sebagai Antropolog sering mengharuskan dia pergi ke luar negeri, kali ini ia mendapatkan kontrak kerja dengan sebuah lembaga penelitian di Bangkok selama hampir setahun dari 2008-2009. 

Sungai Chao Phraya gambar dari photos.igougo.com

Suatu hari ia bertemu dengan Osken O’Shea, seorang sosiolog berumur 50-an keturunan Kazakhstan dan Irlandia. Pertemuan mereka berawal di restoran, sampai secara tidak sengaja bertemu lagi di boat yang akan melintasi Sungai Chao Phraya. Semenjak itu mereka sering bertemu bersama dan dari obrolan-obrolan ringan mereka, mulai terpercik benih-benih cinta. Pernah sekali Laras mencoba mengelak dari perasaan itu tepat ketika mereka akan pergi kencan, tapi ternyata sia-sia, sekuat apapun Laras mencoba menghindar, takdir mempertemukan mereka kembali. Dan rasa cinta itu makin kuat.

Pun setelah Laras kembali ke Jogja, rumah tempatnya berteduh dan tempat dua mata hatinya berada, rasa rindu sering mengentak dada Laras untuk kembali menemui Osken. Tapi pelan-pelan Laras sadar masa depan cintanya dengan Osken terancam berjalan tidak mudah. Apa kata orang tua kalau ia akan menikahi seorang bule? Perbedaan ras, perbedaan adat, perbedaan budaya, terutama lagi perbedaan agama yang jelas jelas ada. Serta kebiasaan yang berbeda, anak-anaknya yang telah 5 tahun ini terbiasa hidup bersandar hanya dengan Laras seorang, maukah mereka membuka kesempatan bagi Osken untuk masuk ke keluarga mereka?

Mampukah Laras mempertahankan cintanya? Atau ia harus memilih Osken atau orang-orang terkasihnya?

Rasanya ada yang kurang saat saya menutup lembar terakhir buku ini. Kenapa? Pada dasarnya ide cerita di buku ini bisa kita temukan di banyak novel romance (atau bahkan di kehidupan nyata itu sendiri) seorang wanita Indonesia jatuh cinta dengan lelaki bule. Yang membedakan adalah bagaimana Penulis menceritakan kisah ini dengan kerumitan hidup si Laras. Ia Janda beranak dua.

“Menjadi janda juga serba saah. Bila memilih sendiri, para istri akan mencurigainya sementara para suami sembunyi-sembunyi mengganggunya. Bila memutuskan berpacaran, orang-orang akan menuduhnya gatal. Bila berniat menikah lagi, tak sedikit yang menudingnya tega menelantarkan anak-anaknya dan melupakan suaminya. Suami yang telah tahunan terkubur di perut bumi dan tak mungkin bangkit lagi.”-Hal.199

Miris ya? Mereka itu kan juga manusia, butuh kebutuhan batin maupun fisik seperti halnya yang masih memiliki pasangan. Mereka butuh tempat bercerita, berkeluh kesah, bersandar, menangis dan banyak hal lainnya yang tidak bisa sembarangan dipinta kepada orang lain.

Secara garis besar, saya suka ide buku ini hanya saja alurnya.. cukup.. lambat, dan sedikit memusingkan karena maju mundur maju mundur, tapi dalam kapasitas mengenang. Saya baru menemukan ketegangan ketika masuk di Bab Merapi mulai meletus, akhir tahun 2011. Bab 32 dari total 55 bab. Osken yang memutuskan berkunjung ke Jogja mulai mengenal orang tua dan anak anak Laras, dan sedikit demi sedikit pertentangan mulai terjadi. Nah sebelum bab itu, rasanya percintaan mereka biasa-biasa aja. Iya sih, memang ada kekhawatiran Laras yang sudah sejak jauh hari dimunculkan, tapi tetep gregetnya kurang. :D

Lalu konflik kemanusiaan yang bertebaran di buku ini. Tak hanya di Bangkok, yang manjadi sebagian besar latar cerita, tapi di Jogja saat terjadi erupsi Merapi juga dikisahkan sedikit tentang korban-korban benacana alam ini. Lalu Osken yang juga sering mengurusi misi kemanusiaan membuka pengetahuan saya akan negara-negara dunia ketiga lainnya yang kondisi rakyatnya masih memprihatinkan, terutama wanita dan anak-anak.

Untuk tokoh yang saya suka dari cerita ini? Saya suka Osken daripada Laras. Hihi, mungkin karena Laras lebih sering galau ya daripada Osken (ya iyakali, Laras kan cewek, lebih sensitif. :D). Osken adalah tipe lelaki yang pantang menyerah, ketika ia sayang dengan seorang wanita ia benar-benar memberikan semuanya untuk wanita itu (dalam hal ini Laras, tentu saja), waktu, perhatian, kasih sayang, anything. Osken juga tipe lelaki langka (saya harus mengakui ini saudara-saudara), Ia tipe lelaki yang sangat menghormati wanita, semua wanita. Suatu sikap yang saya rasa makin sulit kita temukan saat ini, karena banyak laki-laki yang tidak menghargai wanita sebagai manusia.

Singkat kata, semua yang ada di buku ini cukup untuk membuat saya memberikan tiga bintang bagi buku ini. :)

Satu quote yang saya suka di buku ini. 
Ini hidupku, aku punya hak untuk bahagia dengan caraku.

Sedikit tentang Penulis :

Latar belakang Endah Raharjo adalah arsitek dan pernah belajar mengenai Urban Studies and Planning. Studinya diselesaikan pada tahun 1987. Tapi selama ini ia tidak pernah serius berkarya sebagai artistek. Semua proyek yang ia kerjakan sejak tahun 1988, berhubungan dengan kepenulisan.

Atau Anda juga bisa menikmati tulisan tulisan Endah lainnya di http://endahraharjo.blogspot.com/

Silakan berkunjung :)
2 komentar on "Senja di Chao Phraya"
  1. Terima kasih banyak atas review, Alvina. Sekali lagi selamat sudah memenangkan buku saya di Goodreads. Saya senang sekali membaca review ini.

    BalasHapus
  2. Saya juga berterima aksih, Mbaak :D

    BalasHapus

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Salam,

Salam,