April 30, 2014

Selimut Debu






Judul Buku  : Selimut Debu
Penulis : Agustinus Wibowo
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ketiga : November 2011
Tebal : 468 halaman, paperback

Apa yang pertama kali terlintas di pikiran Anda ketika mendengar kata Afganistan? Kalau saya langsung membayangkan debu dan padang gersang. Secara keseluruhan memang itu hal yg paling banyak bisa kita temukan di sana, selain teror dan orang orang miskin yang mendiami negara tersebut.

Agustinus mengajak kita menjelajahi Afganistan bukan hanya lewat penggambaran detailnya tentang tempat dan keadaan, tetapi ia juga mengajak kita seakan ikut berada di sebelahnya, berinteraksi dengan berbagai macam suku yang ada di Afganistan.

Meski tamu apalagi musafir dijamu dengan baik, tapi sebaik baiknya jamuan itu masih jauh dari cukup dibandingkan kehidupan layak kita di Indonesia. Paling hanya sekerat roti, dengan air teh seadanya atau pernah juga ia mendapatkan krim susu yang sudah basi. Bukan karena penduduk itu pelit dalam menerima tamu, Tapi hanya itu 'kemewahan' yang mereka miliki. Selain itu ia juga bercerita pengalamannya bertemu dengan para penipu, yang menipu ongkos perjalanan, yang menjanjikan tumpangan tapi malah meninggalkan, yang mencuri uangnya hingga habis. Penderitaan Agustinus mungkin menyamai penderitaan orang orang Afgan sendiri, dengan pakaian yg mirip, ditambah tampilan tubuh yang dekil (di sana air termasuk langka dan kalau ada danau pun dinginnya bukan main) dan kemampuan berbahasa yg fasih, Agustinus dengan mudah melebur dalam masyarakatnya.

“Agama itu bukan di baju. Agama itu ada di dalam hati. Inti agama adalah kemanusiaan.” 

Meski terkesan sengsara dalam perjalanannya, Agustinus juga menunjukkan kita tempat tempat menakjubkan yang ada di Afganistan. Mulai dari kota Kabul yang penuh ekspatriat dan para relawan luar negeri dengan kemewahan hidup ala borjuis. Lembah Bamiyan yang elok nan hijau, berbeda jauh dengan lansekap Afganistan pada umumnya yang  kering dan berdebu. Mengajak kita mengunjungi menara Jam yang berdiri sendirian di tengah tengah 'kehampaan'. Danau yang amat dalam di salah satu sisi Afganistan.

Tunggu dulu, selain pemandangan yang menakjubkan ini, Agustinus juga menceritakan pengamatannya terhadap orang di sekelilingnya. Yang unik menurut saya adalah bagaimana wanita Afganistan bersikap dan berpakaian dalam kehidupan sehari-hari. Di sana, beda suku maka beda pula adatnya. Ada suku yang melarang keras wanitanya keluar rumah, ada yang memperbolehkan tapi harus mengenakan Burqa hingga hanya tersisa bagian matanya yang juga tertutup kain tipis kotak kotak, ada juga yang bebas membiarkan wanitanya mengenakan baju warna warni terpengaruh modernisasi.

Ada satu cerita yang berkesan bagi saya ketika orang orang luar negeri mencoba 'memerdekakan' wanita ini dari 'belenggu' rumah dan adat, orang orang itu menunjukkan foto wanita wanita pekerja, seperti ke sawah untuk bertani dan lain lain. Komentar wanita Afgan justru membuat orang asing itu kaget, "alangkah kasihan mereka, kenapa mereka harus berkerja? Ke mana lelaki lelaki mereka?"

Ini menunjukkan bahwa orang Afgan memiliki adat yang tinggi dalam menjunjung kehormatan wanita. Jangan salah paham dan jangan disalahtafsirkan, karena itu adalah adat, maka mengubah adat itu bagi saya mengubah juga jiwa mereka.

Masih ada lagi beberapa kisah yang membuat saya makin mensyukuri hidup, ah..susah menceritakan bagaimana cakap dan detil yang agustinus ceritakan di buku ini. Meski saya sempat tersendat membacanya sampai akhirnya memutuskan membaca ulang (karena alur pengisahannya lama dan pelan sekali) saya rasa empat bintang pas untuk buku ini.

Penjelajah kemanusiaan, menurut saya, sebab Agustinus tidak hanya bercerita tentang apa yang nampak oleh mata, namun juga yang terasa dalam hati.




Sedikit tentang cover buku ini membuat saya terusik untuk mengingat-ingat majalah NG yang dulu pernah saya lihat di televisi. Karena penasaran, maka saya browsing dan menemukan bahwa Majalah NG pernah menjadikan seorang anak perempuan Afgan sebagai sampul luar majalah mereka, gadis itu memiliki iris mata yang unik dan setelah tujuh belas tahun kemudian, perjalanan kembali ditempuh si fotografer untuk mencari gadis yang dulu pernah ia foto dan menceritakan bagaimana kehidupan gadis ini setelah tujuh belas tahun lamanya berselang?
Yang membuat saya penasaran, apakah anak perempuan dalam cover buku Agustinus ini juga anak Afgan? Jika iya, apa belasan tahun mendatang, Agustinus akan memiliki hasrat yang sama besar dengan fotografer NG tadi untuk mencari dan memotret anak ini (di masa depan)?  :)
2 komentar on "Selimut Debu"
  1. Menurutku sih ini pasti anak Afgan, mungkin saja Gusweng nyari lagi beberapa tahun ke depan karena dari ceritanya di Garis Batas, dia bolak balik ke Afghanistan... Eh, mana review Garis Batasnya? Kayaknya sudah baca to? Liinkkkk pliisss... :D

    BalasHapus
  2. owww iya aku inget cover NG yg kamu maksud vin :D kayaknya kebanyakan orang komen alur buku ini lambat ya.. tp tetep masuk wishlist ah :D

    BalasHapus

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Salam,

Salam,