Judul Buku : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer
Gramedia
Cetakan Pertama : Desember 2012
Tebal : 464 halaman, paperback
ISBN : 978-979-91-0515-8
Pulang adalah tempat ke mana
hatimu berlabuh. Saya sering mendengar ungkapan ungkapan melankolis yang
berhubungan dengan 'kepulangan'. Tetapi ketika itu dibawa ke dalam sebuah
cerita novel, saya jarang terkesima, kecuali kali ini. Pulang yang diceritakan
dengan latar sejarah pergolakan bangsa Indonesia pada tahun 1965 dan 1998.
Dimas Suryo adalah salah seorang wartawan di Kantor Berita Nusantara yang dikirim ke luar negeri oleh kantornya untuk menghadiri pertemuan wartawan internasional. Yang tidak Dimas ketahui adalah, kepergiannya itu berbarengan dengan memuncaknya konflik ekstremis dan pemerintah yang meletus pada September 1965. Sejak peristiwa itu, Dimas dan kawan kawannya tidak dapat pulang ke Indonesia.
Mereka telanjur diberi stempel
PKI, aib besar pada jaman itu. Suaka politik yang diperolehnya membuat dia dan
kawan kawannya berhasil bertahan hidup di Prancis dan menikah dengan Vivienne
yang cantik jelita.
Dengan kemampuan pas-pasan,
ketidakmampuan menggunakan bahasa Prancis, sekelompok lelaki itu : Dimas,
Nugroho, Tjai dan Risjaf ingin sekali bekerja bersama kembali di negeri asing
tersebut. Lalu tercetuslah ide untuk membuat rumah makan khas indonesia di
sana. Kehidupan mereka mulai membaik sejak itu karena Dimas memang seorang koki
yang jago dan publisitas membuat restoran nereka hampir selalu ramai baik oleh orang
Indonesia sendiri yang sedang ada di Prancis atau oleh orang orang asing yang
penasaran akan kuliner Indonesia.
Meski telah menemukan kemapanan di sana, bukan sekali dua kali Dimas mencoba mendapatkan visa untuk pulang ke Indonesia, negara yang dikasihinya meski telah membuangnya. Dan percobaan itu selalu gagal. Dimas tahu dia tak akan pernah bisa menginjakkan kaki ke tanah yang ia rindui segenap hati.
Dari pernikahan Vivienne dan Dimas, mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Lintang Utara. Tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan berpikiran bebas, Lintang yang mengambil sinematografi di Universitas Sorbonne diam diam juga mencintai indonesia dan selalu bertanya-tanya seperti apa negara asal ayahnya itu. Hasil didikan ayahnya, cerita dan dongeng dongeng Mahabarata membuat Lintang penasaran seperti apa Indonesia sekarang ini? Sampai sebuah tugas akhir memaksanya untuk 'pulang' ke Indonesia. Tepat di saat suhu politik indonesia memanas, dengan demonstrasi dan kebebasan mahasiswa yang meledak ledak, Lintang turut dalam peristiwa reformasi yang terjadi pada Mei 1998.
Melalui Lintanglah benang merah antara peristiwa PKI 1965 dan reformasi 1998 yang berdarah dihubungkan. Demi menyelesaikan tugas akhirnya, Lintang harus mewawancarai para korban dari kebiadaban peristiwa September 1965. Para keluarga yang sebenarnya tak tahu apa-apa, dan mereka keturunannya yang terus mendapatkan stempel Eks Tapol pada dahi mereka.
Buku ini diceritakan dalam tiga
bab besar yaitu, Dimas Suryo, Lintang Utara dan Segara Alam.Dengan bersemangat,
saya menanti-nanti seperti apa konflik yang ditawarkan buku pemenang KLA 2013
ini. Ya, saya hanya membaca sinopsis secara garis besar, bahwa buku ini
berhubungan dnegan tragedi G/30S/PKI dan Reformasi 1998. Lalu Seperti apa mereka
dihubungkan?
Buku ini membuka mata saya tentang berbagai cerita-cerita seputar eks
tapol dan mereka yang meringkuk di balik bayang-bayang hitamnya.
Bagaimana tidak manusiawi pengalaman yang mereka rasakan, dan bagaimana
rasanya menjadi orang buangan membuat saya bergidik ngeri membayangkan
apa yang terjadi di masa itu. Ketika hitam jadi putih, dan orang-orang
dihasurkan memilih. Tak boleh ada abu-abu, sebab abu-abu sama saja
artinya dengan keliru.
Sebenarnya saya sempat bosan di awal cerita, karena saya kurang puas. Saya menantikan adegan yang berdebar-debar, rincian perburuan atau alur yang cepat dan mengejar-ngejar pembaca untuk segera melangkah ke bab selanjutnya. Alih-alih saya sedikit tersendat dengan alur maju mundur yang acapkali digunakan penulis, yang membuat saya 'kurang masuk' ke dalam suasananya. Sudah pula ada sedikit perbedaan sudut pandnag yang digunakan penulis, terkadang menggunakan PoV orang pertama, tapi tak jarang diganti lewat PoV orang kedua dalam satu bab yang sama, sehingga saya agak belepotan juga membayangkannya.
Sebenarnya saya sempat bosan di awal cerita, karena saya kurang puas. Saya menantikan adegan yang berdebar-debar, rincian perburuan atau alur yang cepat dan mengejar-ngejar pembaca untuk segera melangkah ke bab selanjutnya. Alih-alih saya sedikit tersendat dengan alur maju mundur yang acapkali digunakan penulis, yang membuat saya 'kurang masuk' ke dalam suasananya. Sudah pula ada sedikit perbedaan sudut pandnag yang digunakan penulis, terkadang menggunakan PoV orang pertama, tapi tak jarang diganti lewat PoV orang kedua dalam satu bab yang sama, sehingga saya agak belepotan juga membayangkannya.
Ide cerita 'Pulang' memang
menarik untuk diselami meski saya rasa terlalu rumit dan banyak cakupannya.
Porsi antara bahasan 30 September dan Reformasi 1998 juga tidak seimbang, bagi
saya terlalu sedikit dan terasa bagian Reformasi 'dirampingkan'. Sehingga
dialog-dialog dan perjalanannya kurang mengena dan membekas seperti bahasan 30
September. Yang membuat saya menduga duga, apakah novel ini sebenarnya memiliki
jumlah halaman yang jauh lebih banyak dari 464, lalu karena terlalu luas dan
lebar, alhasil disempitkan menjadi sejumlah sekarang?
Dari ketiga bagian buku ini,
saya tidak menemukan tokoh yang berhasil mengesankan saya. Dimas memang seornag
pekerja keras, tangguh dan keras kepala. Pendiriannya yang kuat ditambah
kesetiaannya membuat Dimas kalang kabut masalah asmara. Sifatnya yang
melankolis, menurun kepada anaknya, Lintang, yang dididik secara Eropa dan
Timur oleh Maman (Ibu) dan Ayahnya. Didikan ini mungkin yang membuat Lintang
menjadi gadis yang pemberani, banyak pertanya dan kurang bisa menjaga emosi,
sehingga terkadang meledak-ledak begitu saja.
"John Keats akan
menutup surat ini dengan sempurna. Mungkinkah mati itu tidur bila hidup itu
mimpi. Kematian ini, Lintang, adalah tidur sejenak bagiku, karena pada saat aku
bangun, aku bertemu denganmu."
Dibandingkan Murjangkung, Amba, dan Surat Panjang..., saya memang lebih cepat menikmati Pulang. Lebih cepat diimajinasikan oleh otak saya, tidak susah susah dan tidak terllau suram XD
Mungkin setelah ini saya akan
membaca buku finalis KLA 2013 selanjutnya, Pasung Jiwa. dan siapa tahu saya
malah jatuh hati di sana. Hei, namanya juga selera,kan? XD
Posting ini dalam rangka
POSBAR BBI tema : Hisfic Indonesia
Bagussss ... aku kapan ya bacanya... bagus banget ternyata ceritanya
BalasHapushey, ada kok bagian yang bikin hati berdebar-debar XD
BalasHapusaku sukaaaaaaaa banget sama buku ini :p
mwahahaha. iya nih, ada romancenyaaa.. XD
BalasHapusMaju-mundur nih mau baca, sebagian bilang kurang bagus - jauh dari ekspektasi, tapi ada beberapa yang bilang bagus *tambah-bingung*
BalasHapusBagian reformasinya kurang panjang. Berharap endingnya bisa diperpanjang sedikit. heuuu..
BalasHapusAku penasaran bgt sama buku ini vin, soalnya kebetulan pas kul di belanda dulu itu sempet kenalan sama bapak2 eks tapol yang terkatung2 di belanda ga bs pulang ke indonesia (wkt itu tahun 2005 pas aku disana). aku rencananya mau baca ini buat yg posbar KLA :) ga sabarrrr
BalasHapusHai Kak Vina, aku baru mampir lagi nih kayaknya dan tampilan blognya bersih banget dan rapi ih, suka deh >,<
BalasHapusTerus terang aku belum tertarik untuk baca Pulang, enggak terlalu tertarik sastra yang berat dan minim romance sih *masih anak2, kakak xD
Tapi kayaknya Pulang malah yang paling 'enteng' ya? hmmm..
Penasaran ama buku yang katanya 'kontroversial' ini :))
BalasHapus@lucktygs
http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/
buku ini bagus literally. aku suka penulisannya.
BalasHapusKalau dibandingkan sm Amba, akupun lebih suka Pulang ini Mbak, meskipun nggak terlalu berbunga-bunga kata-katanya tapi ceritanya 'engaging' dan bikin nggak pengen berhenti baca. Cuma yg aku agak kecewa adalah 'ganti fokus' ke Lintang dan (sama sih) bagian 1998-nya terlalu sedikit, jd kayak diburu-buru, aku lebih pengen ceritanya tetep difokusin ke Dimas Suryo dan bagian tengah buku keduanya diperpanjang lagi, hehehe
BalasHapusRomance-nya nanggung *hahaha...*
BalasHapusSaya malah agak kurang dapat soal eks tapol itu. Meski memang Dimas mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang di KBRI dan ga bisa pulang ke Indonesia.
masih menunggu event postbar KLA buat baca buku ini, hehehehe
BalasHapusBuku yang sampai sekarang jadi wishlist, dan masih belum kebeli ..:(
BalasHapusAaarrghh.... Gara gara BW, jadi mo ngelist buku indo* hisfic indo yang mo kupinjam hahaha.... #timbunanohtimbunan....
BalasHapus