Judul Buku
: Cantik Itu Luka
Penulis : Eka
Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan
pertama : Februari 2012
Tebal : 490
halaman, baca di aplikasi IJak
ISBN : 9786022517498
Ini kisah
yang rumit. Sudah lama saya mendengar nama Eka Kurniawan ketika sedang
mengobrol dengan teman teman blogger buku atau sekadar melihat buku barunya di
timeline. Terlebih setelah bukunya memenangkan anugerah sastra dan banyak
review positif mengenainya.
Ketika masih dalam tahap mencoba aplikasi IJak, saya langsung meminjam buku ini. Penasaran tingkat dewa.
Kesan saya? Ouch, buku ini berat banget kisahnya.
Saya ceritakan sedikit silsilah mengenai Dewi Ayu dan keluarganya. Dua orang tuanya merupakan saudara sebapak yang nekad menikah dan kabur dari rumah. Sejak kecil, Dewi ayu tinggal bersama neneknya yang orang Belanda. Kedatangan tentara Jepang membuat si Nenek mengajak Dewi Ayu untuk pergi dari rumah, tetapi Dewi Ayu menolak. Ia tetap tinggal di rumah tersebut sampai tentara mengirimnya ke sebuah penampungan tempat orang orang non pribumi ditempatkan. Dewi Ayu dan beberapa anak gadis ditempatkan dalam sebuah rumah bordil. Sementara yang lain ketakutan, Dewi Ayu malah bersikap santai dan tenang. Ia kelak menjadi wanita idola di rumah bordil tersebut, pun meski kemudian ia melahirkan sebanyak 3 kali, tetap banyak lelaki yang masih ingin tidur dengannya.
Buku ini mengisahkan Dewi Ayu dengan empat anak perempuannya. Tiga di antaranya cantik jelita, Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Sedangkan anak terakhirnya lahir dengan buruk rupa, ironisnya ia dinamai Si Cantik.
Cerita di buku ini unik, meski tak
urung membuat saya terbayang bayang novel 100 tahun kesunyian milik Gabriel
Marquez saat membacanya. Dewi Ayu memang tidak hidup selama 100 tahun sih, tapi
ia menyaksikan bagiamana keturunan-keturunannya itu saling terpaut seputar
cinta dan perihal selangkangan. Jelas saya kemudian salut kepada penulis karena
bisa meramu plot yang bertindihan dan kompleks dalam buku setebal kurang dari
500 halaman. Mungkin jika endingnya
tidak disegerakan, buku ini bisa jauh lebih tebal dan ceritanya makin edan. Selain
plot, saya juga salut sama bahasa yang digunakan. Simpel, lugas, apa adanya,
tapi juga tak ada kesan jijik. Settingnya juga dideskripsikan dengan apik, saya
bisa dengan mudah membayangkan seperti apa kamar di rumah bordil, atau
bagaimana saat Dewi Ayu menggali harta karun di rumahnya yang lama. Adegan-adegannya
juga diceritakan dengan gamblang, tapi kadang berasa kurang sih perasaannya. Saking
detailnya malah kadang saya udah ga peduli itu si Kamerad atau Schodanko
ngapain aja XD Dan alurnya juga juara, saya bisa mengikuti meski maju mundur
terbolak balik diceritain sama si penulis.
Tapi ceritanya emang berat sih, menurut
saya. Jadi heran, kenapa sebuah buku yang dianggap bagus biasanya adalah buku
yang berat menurut saya ya? Apa saya kebanyakan micin? *abaikan*
Kenalan bloggerku di luar juga bilang kalo ni novel mirip2 100 tahun kesunyian. Tapi menurutku ni novel tetep keren banget dah, juara!!! Eh, kenapa yg menang penghargaan pasti buku yg berat2??? Yah, udah takdir kali yo Vin, hahahaha...
BalasHapusAku juga baru kelar baca dan review buku ini bulan lalu...rasanya emang kayak baca buku klasik luar dengan cita rasa Indonesia, awalnya sedikit ngos2an karna berasa tanpa jeda ambil napas, tp lalu terbiasa dengan plot yang tanpa klimaks dan akhirnya pun keterusan suka :D
BalasHapus