Judul Buku : Raden Mandasia Si
Pencuri Daging Sapi
Penulis: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit : Banana
Cetakan pertama : Maret 2016
Tebal : 450 halaman, paperback
ISBN ; 978-979-1079-52-5
Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi mencari
Saya membuka tahun 2017 ini
dengan bacaan bacaan bagus, senangnyaa. Salah satunya adalah Raden Mandasia
yang tahun lalu menyabet juara KLA di segmen prosa.
Tergoda oleh rasa penasaran
sekaligus promo dan kompor dari banyak kawan, saya memaksakan diri untuk
menyegerakan baca buku ini sebelum boomingnya hilang. Maka itu di awal tahun,
saya dan sepasukan kawan di telegram (Aki, Mba Mute, dkk) meniatkan diri untuk
baca bareng (dengan hestek #BacaBarengAki), meski entah kelarnya kapan.
Buku ini menceritakan perjalanan
Sungu Lembu yang ingin membalaskan dendamnya kepada Watugunung, Sang Raja
Gilingwesi. Pasalnya, kerajaan tempat tinggal Sungu Lembu (dicaplok) oleh
Kerajaan Gilingwesi dan orang orang terdekatnya dibunuh oleh prajurit Gilingwesi.
Tentu saja kepala Sang Raja akan menjadi balasan yang setimpal.
Tapi membunuh Watugunung
ternyata tidaklah mudah. Ia sakti dan pengawalnya banyak. Jangankan
membunuhnya, Sungu Lembu bahkan tak tahu seperti apa wajah sang Raja. Bagaimana
cara dia bisa membunuhnya?
Takdir pun berkata lain. Dalam
suatu pertemuan di Rumah dadu milik Nyai Manggis, Sungu malah bertemu
dengan Mandasia, salah satu putra Watugunung. Raden Mandasia mengajak
Sungu Lembu untuk menemaninya dalam perjalanan ke Barat, demi mencegah
peperangan antara dua kerajaan besar, Gilingwesi dengan Gerbang Agung. Tadinya
Sungu Lembu berberat hati untuk mengiyakan, namun bukankah ini berarti
selangkah lebih dekat untuk menebas kepala Watugunung?
Maka pergilah mereka berdua dan
tersesat dalam petualangan yang kocak sekaligus seru. Berlayar berminggu
minggu, menyeberangi gurun pasir berhari hari, serta menjadi saksi jatuhnya
ribuan mayat dari langit.
Apakah kelak Sungu Lembu
berhasil membalaskan dendamnya?
Membaca buku ini awalnya sih agak
lelet. Mungkin karena masa adaptasi dengan tokoh dan pembawaan karakter
karakternya yang unik. Setelah dua tiga bab berlalu, saya mulai jatuh hati
dengan ceritanya. Alurnya memang cepat, tapi cukup menyita konsentrasi karena
dijabarkan secara maju mundur. Bahkan ada yang udah mundur, eh dimundurin lagi
ke belakang. Tapi secara garis besar ngga terlalu memusingkan sih. Alur mundur
ini biasanya berupa alasan dan pengenalan menegenai suatu tokoh baru serta apa
kepentingan si tokoh dalam alur cerita utama.
Ada banyak tokoh dalam buku ini,
sebagian hanya diceritakan selewat namun beberapa memainkan peran penting dalam
mendampingi Mandasia dan Sungu Lembu. Di antara Mandasia dan Sungu Lembu
sendiri, sebenarnya saya malah lebih suka dengan Sungu Lembu. Mungkin karena
cerita ini memang menggunakan karakternya sebagai PoV pencerita sehingga saya terpengaruhi sudut pandangnya atas berbagai hal. Mungkin juga
karena saya suka dengan sifatnya yang bengal, ceroboh, keras kepala, tapi blak
blakan kalau ngomong. Cara dia mencaci maki pun tak urung sering membuat saya
tersenyum geli saat membaca. Ah betapa saya jadi rindu lagi membaca kisahnya.
Hal lain yang membuat saya suka
sama novel ini adalah bahasanya yang kaya. Si penulis menggunakan banyak
kosakata lawas namun baru terdengar bagi saya. Hal ini anehnya terasa cocok
karena malah makin menguatkan kesan "dongeng" yang muncul saat
membacanya. Iya, biar bagaimanapun, buku ini menceritakan dongeng, bahkan bila
pembaca jeli dalam mengingat, ada beberapa dongeng yang terkenal yang
dipadupadankan di dalam novel ini.
Perlu diketahui juga bahwa novel ini memang ditujukan untuk pembaca Dewasa. Adegan adegan dan humornya saya rasa tidak akan banyak dimengerti oleh anak di bawah 15 tahun, misalnya. Sedangkan bagi saya, sebagai seorang yang dewasa (#tsaaah), Sungu Lembu menunjukkan betapa pelajaran tentang kehidupan adalah mahal harganya. Baginya itu berarti menjalani pelatihan keras dan didikan yang ketat oleh sang paman, termasuk mencicipi segala macam racun sebagai bentuk penjagaan diri. Ia juga tak bisa seenak udelnya menginginkan pembalasan dendam kepada Sang Raja, karena tentu saja, akan ada hal yang harus dibayar demi niat sebesar itu.
Saya puas membaca novel ini. Tak
salah bila ia mendapat anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2016 untuk
kategori prosa.
Wah, sepertinya bagus ya Mba... Sudah agak lama tidak baca cerita berlatar seperti ini. Catat dulu, deh :).
BalasHapusWaduh Raden Mandasia ini booming banget dimana-mana, tapi aku belum sempet baca:( hiks
BalasHapus