Agustus 16, 2022

Yang Terlupakan dan Dilupakan : Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia

 



Judul Buku : Yang Terlupakan dan Dilupakan : Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia

Penulis : Giovanni Dessy, Rain Chudori, Ziggy Z, et al.

Editor : Pradewi Tri Chatami

Tebal : 314 halaman

Penerbit : Marjin Kiri

Cetakan Pertama : 2021

ISBN : 978-602-0788-19-7



Luar biasa detail buku ini. Apa jadinya bila sepuluh penulis perempuan Indonesia di era modern ini menulis esai tentang sepuluh penulis perempuan yang namanya tidak pernah kita dengar sebelumnya. Seakan sosok-sosok asing padahal mereka ada dan telah memberikan kontribusi besar bagi khazanah sastra Indonesia serta emansipasi wanita Indonesia. 


Esai esai ini disajikan dengan apik, bercerita tentang kelahiran dan kematian, juga kehidupan di antaranya. Sebagai reviewer abal-abal, saya kagum benar dengan cara penulis-penulis muda ini bercerita juga mereview karya-karya sastra yang jejaknya amat sulit dilacak. Empat jempol saya rasa masih kurang untuk diberikan atas usaha dan kerja keras mereka mencari literatur yang berkenaan dengan sosok yang sedang mereka ceritakan.


Mereka membandingkan tokoh demi tokoh, adegan demi adegan, juga mencari tahu mengapa ada perbedaan karakter yang menonjol antara satu tokoh dalam satu cerita dengan cerita lain padahal ditulis oleh penulis yang sama. Apakah saat itu ada unsur sosial politik atau ada sesuatu yang terjadi pada si penulis ini. 


Dari esai esai inilah kemudian saya sebagai pembaca tahu bahwa ada penulis-penulis perempuan Indonesia sejak zaman kolonial yang gigih memperjuangkan pemberdayaan kaum perempuan. Baik melalui terjun langsung di dunia politik maupun lewat tulisan-tulisan mereka yang dipublikasikan, juga cerpen dan novel yang diterbitkan. 


Siti Rukiah lahir di Purwakarta, 25 April 1927, seorang putri bungsu dari tiga bersaudari. Di tengah gejolak revolusi 1945, ia mendaftar dan bekerja sebagai anggota Palang Merah di Purwakarta. Sejak tahun 1946, ia mulai menulis puisi untuk majalah-majalah, Mimbar Indonesia dan Godam Djelata. 

Karakter karakter tokoh dalam cerita yang ditulisnya seperti bagian dari curahan hatinya sendiri tentang perbedaan ekspresi politik saat itu. Bagi perempuan amat terbatas karena terpaksa mengikuti kemauan suami dan harus mengurus rumah tangga mereka. Sedangkan karakter lelaki lebih ekspresif, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan, gemar mansplaining dan "serba tahu". 


Engkau memang diburu, tapi bukan pelarian. Aku memang di penjara, tapi bukan manusia kurungan. - S. Rukiah, "Kenangan Gelita"



Suwarsih Djojopuspito istri dari Sugondo Djojopuspito. Lahir di Cibatok, 20 km barat daya Bogor pada 20 April 1912. Ia anak ketiga dari enam bersaudara, dari ayah seorang keturunan dinasti Cirebon dan ibunya seorang anak pedagang Cina yang masuk Islam.


"Manusia Besar" adalah karya besar beliau. Terjemahan dari karya asli yg ditulis dengan bahasa Belanda, Buiten het Gareel (Di Luar Jalur). HB Jassin turut memuji karya Suwarsih ini. 


Tokoh tokoh dalam cerita tersebut dianggap mewakili kehidupan Suwarsih bersama suaminya juga hubungannya dengan kakak serta iparnya. Dalam cerita digambarkan bahwa Sulastri, si tokoh utama wanita, memiliki suami yang memiliki peran penting dalam pergerakan modern tapi masih menuntut kepatuhan tradisional dari istrinya.


Dalam teori semua orang lelaki sama anggapannya. Dalam praktiknya, kalian memperbudakkan seorang wanita.


Suwarsih tidak menulis pendidikan sejarah, melainkan keseharian yang terjadi dalam pergerakan, sehingga membuat kita merasa dekat dengan situasi saat itu tanpa menjadikannya pelajaran yang didaktik. Suwarsih juga cermat dalam mendeskripsikan sosok dan karakter dalam ceritanya. Salah satu tokoh yang ia kameo-kan dalam ceritanya adalah Inggit Garnasih (Zus Karno). 


Naomi Intan Naomi lahir di Denpasar 26 Oktober 1970 dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Solo. Ayahnya seorang penulis dan dosen filsafat di UGM dan jarang di rumah, apalagi ia juga tidak menikah secara sah dengan ibunya Naomi. Latar belakang keluarga ini kemudian membentuk perspektif Omi bertentangan dengan norma sosial konvensional secara umum. 


Omi muda menerbitkan beberapa kumpulan puisi, ia menjadi salah satu penyair muda yang memukau. Bahkan Wiji Thukul demikian tertarik pada Omi yang penampilannya membuat penonton terperangah. Puisi puisinya tajam dan cermat, meski ia tidak melabelkan dirinya sebagai feminis tapi puisi puisinya mengupas kehidupan perempuan yang terpinggirkan, yang terasa tak adil. Tak hanya itu, puisi Omi juga mencakup peristiwa internasional yang terjadi saat itu, seperti Perang Vietnam ataupun tragedi Palestina.


Semenjak ia mampu membeli komputer bekas, Omi makin mengembangkan karier kepenulisannya. Ia semakin produktif dan mulai merambah dunia digital. Ia membuat beberapa blog yang berisi tulisan tulisan analisisnya tentang banyak hal, mulai dari sosial politik hingga ritual tradisional Jawa. Kritik kritik Omi perihal rezim Orde Baru dituliskannya dalam skripsi dan karya-karya lainnya. 


Melalui internet juga, Omi menemukan kebebasannya dalam berkarya. Di dalam blognya bisa kita temukan postingan postingan singkat yang kadang berupa hyperlink menuju ke situs situs lainnya. Blog menjadi wadah yang membuat Omi bisa mengemukakan pikirannya secara langsung, tanpa belenggu nilai-nilai tradisional ataupun aturan kepenulisan. Ia meninggal pada November 2006 karena koma. 




Ratna Indraswari Ibrahim lahir di Malang, 24 April 1949 dengan latar keluarga Islam tetapi memiliki cara pandang yang terbuka karena ia disekolahkan di sekolah Kristen. Menjelang usia 10 tahun, ia terserang demam tinggi dan divonis menderita rakitis yang membuatnya mengandalkan kursi roda untuk mobilitas. Ia sempat mengalami perundungan dan mengaku ateis atas sakit yang menimpanya. 


Pada peristiwa 1998, rumah Ratna di Malang menjadi bungker yang aman bagi para aktivis. Dua kumcer Ratna yang dibedah di buku ini berjudul Batu Sandung dan Bajunya Sini. Ia menggambarkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terutama karena langgengnya sistem patriarki. Ia sekilas menampakkan bahwa wanita bisa berkarya dan berdiri sendiri tanpa bayang bayang kaum pria. 


Karya-karyanya juga telah diterbitkan oleh beberapa penerbit, Pecinan: Suara Hati Sang Wanita Tionghoa diterbitkan Laksana. Kumcernya yang berjudul Lipstik dalam Tas Doni diterbitkan Bentang, lalu Novelnya yang berjudul 1998 diterbitkan Gramedia secara anumerta setahun setelah beliau meninggal. 


Sugiarti Siswadi dikenal sebagai sosok yang tangguh dan berani, juga keberpihakannya terhadap rakyat kecil. Karyanya yang terkenal adalah kumpulan cerpen yang berjudul Sorga di Bumi yang diterbitkan Lekra.


Jika empat penulis sebelumnya diketahui jejak keluarga dan sanak saudaranya, tidak demikian dengan Sugiarti. Sampai buku ini terbit, masih belum diketahui jejak keluarganya. Tak hanya menulis karya karya pribadi, Sugiarti juga menerjemahkan karangan sastrawan Bulgaria dan negeri-negeri komunis lainnya. 


Sorga di Bumi berisi enam cerpen yang terasa konvensional, sederhana, rigid dalam deskripsi. Adapun cerpen cerpennya memiliki benang merah pada temanya, yaitu semangat untuk merdeka dan hidup berkeadilan. Ini menjadi pembuktian bahwa cerpen cerpennya adalah reaksi dari aksinya yang sering turun ke bawah. Bercerita langsung perihal kaum kaum terpinggirkan juga kritis akan situasi politik saat itu. 




Saadah Alim lahir di Padang pada 9 Juni 1898 dan meninggal pada 18 Agustus 1968. Pada 1917 Saadah mendirikan majalah Soeara Perempuan di bumi Minangkabau. Majalah ini berani menyuarakan kebebasan perempuan tetapi dianggap hendak keluar dari adat Minangkabau. Kaum kuno beranggapan bahwa merdeka yang digaungkan oleh Saadah adalah tentang kehidupan bebas dalam arti negatif, tetapi bagi Saadah merdeka itu adalah kebebasan perempuan untuk mengembangkan dirinya.



Saadah menerjemahkan diktat diktat serta buku pengarang asing seperti Pearl S. Buck, Mark Twain, juga menulis buku-buku teknik praktis.  Dalam naskah dramanya yang terkenal berjudul "Pembalasannja", Saadah berakar pada adat Minangkabau dan pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya. 



Maria Ulfah (Ietje) lahir pada 18 Agustus 1911 dari keluarga bangsawan Banten. Pada masa kolonial, perempuan berada di titik rendah strata sosial. Mereka dijajah oleh pemerintah sekaligus oleh konstruksi sosial masyarakatnya sendiri. Terutama dalam perkawinan, hanya pria yang punya kuasa. Bahkan orang tua pun tak lagi punya kuasa atas anak anak perempuan mereka yang telah dinikahkan, terlebih diceraikan.


Sebagai ahli hukum, Ietje sangat mendukung hal-hal yang melindungi perempuan utamanya dalam hal perkawinan. Pada Kongres Perempuan Indonesia ketiga, ia membacakan ceramah yang disimpulkan bahwa antara undang undang perkawinan dan agama harus sejalan. Sedikit demi sedikit ia mendorong untuk menghilangkan poligami karena wanita menjadi pihak yang banyak dirugikan di dalamnya. 


Di masa pembentukan BPUPKI, Ietje masuk menjadi panitia penyusunan UUD bersama Dr. Supomo. Supomo juga menyepakati usulan Ietje yang menjamin hak dasar warga negara selalu sama baik lelaki maupun perempuan yang tertuang dalam pasal 27.

Tulisan-tulisan Ietje banyak membahas tentang pernikahan yang memberatkan pihak perempuan, pernikahan dini, kawin gantung sampai kawin cerai. Pernikahan pada saat itu lebih merupakan kepentingan bagi orang orang di sekitar perempuan, bukan untuk kepentingan perempuan itu sendiri.



Hamidah/Fatimah Hasan Delais lahir pada 13 Juni 1915 dan meninggal 8 Mei 1953 di Palembang. Fatimah adalah bungsu dari empat orang bersaudara. Ia berasal dari Bangka tetapi bersekolah sampai jauh ke Padang Panjang. Pada tahun 1935, ia menerbitkan novel berjudul "Kehilangan Mestika" dengan nama pena Hamidah dan diterbitkan Balai Pustaka.


Ia juga menulis puisi dan beberapa karya novel tetapi akibat permasalahannya dengan suaminya, karya karya tersebut dimusnahkan. Dalam "Kehilangan Mestika" yang dianggap semi autobiografi dari kisah Fatimah sendiri, ia menitik beratkan pada perjuangan agar perempuan mampu mengenyam pendidikan, mandiri dan berdaya. Dari novel ini juga terlihat tokoh utama wanita yang berjuang untuk melawan kekangan adat lewat afirmasi, dan usahanya tersebut tidak selalu berhasil. 



Dahlia/Tan Lam Nio lahir 1909 di Sukaraja, Jawa Tengah. Pada masa itu Dahlia menerbitkan tulisan-tulisan yang mendorong adanya kesetaraan bagi para penulis perempuan Tionghoa. Karya Melayu-Tionghoa saat itu sulit untuk diakui karena ketidakseragaman sintaksis dan ejaan yang membuatnya disebut "Melayu rendah". 

Dahlia banyak menulis tetapi karyanya juga banyak yang hilang. Ada beberapa yang dirangkum dan diulas di buku ini, kesemuanya merupakan cerita roman. Kisah cinta yang biasanya tidak didukung oleh harta ataupun pemaksaan oleh pihak keluarga yang lebih berkuasa. Kisah cinta yang berujung tragedi terpisahnya dua insan, dan kisah cinta serupa lainnya. Meski roman, tetapi Dahlia mengembangkan tokoh perempuannya dengan karakter yang kuat. Mereka seringnya merupakan sosok wanita Melayu-Tionghoa yang mandiri dan terpelajar. 



Charlotte Salawati adalah anak ketiga dari delapan bersaudara  Beliau walikota pertama Makassar di bawah naungan Republik Indonesia. CS adalah seorang guru, bidan, jurnalis dan pemimpin gerakan nasionalis yang menggelorakan semangat kemerdekaan baik bagi Indonesia ataupun bagi kaum perempuan khususnya. Ia memprotes Westerling ketika ada operasi militer yang menewaskan 40 ribu jiwa masyarakat Sulawesi Selatan. Ia juga turun tangan langsung berdialog dengan Kahar Muzakkar saat terjadinya DI/TII. 

Ia menjadi pemimpin redaksi beberapa surat kabar, juga menulis artikel artikel yang memotivasi perempuan Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu nilai-nilai tradisional yang mengekang. 





Be First to Post Comment !
Posting Komentar

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Salam,

Salam,