Penulis : Ranti Hannah
Tebal : 298 halaman, paperback
Penerbit : Gagas Media
Cetakan Pertama : 2011
ISBN : 979-780-488-7
“Sakit mengajarkan kesabaran tanpa batas. Sebuah scenario yang luar biasa. Jika kita mampu memahaminya…” – Ir. Shahnaz Haque-Ramadhan, survivor kanker ovarium
Itu adalah kalimat pengantar di bagian cover buku Hairless, yang saya rasa cukup mewakili pesan dari cerita di dalamnya.
Bagaimana rasanya ketika di usia belum genap 25 tahun, menjadi istri baru setahun dan sedang mengandung anak pertama, lalu Anda divonis memiliki kanker? Sang penulis membagikan ceritanya untuk kita, perkenalkan, Ranti Astria Hannah. Berawal di usia kehamilannya yang baru 7 bulan, ditemukan benjolan di bagian payudara kanannya. Kekhawatiran Ranti akhirnya terjadi juga, ia divonis menderita kanker payudara. Semenjak itu perjuangan Ranti dimulai. Masa-masa menanti kelahiran anak pertamanya ikut terbebani perasaan campur aduk akan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi pada pasien kanker. Segala impian untuk memberikan ASI eksklusif untuk anaknya dan segala bayangan kebahagiaan akan hadirnya Buah Hati mulai tercemari ketakutan-ketakutan Ranti akan kanker.
Setelah melahirkan, Ranti melakukan pengobatan di National University Hospital, Singapura. Ditemani Mama, Papa atau Suaminya, Ranti bolak-balik Indonesia-Singapura-Indonesia berjuang melawan kanker ganas yang dimilikinya. Ia harus menerima vonis mastectomy, menjalani radiotherapy, dan menempuh kemoterapi yang mengakibatkan rontoknya rambut, muntah-muntah, menopause sementara, tubuh yang rentan penyakit semuanya akan ia alami di usianya yang masih muda. Belum lagi kemungkinan bahwa kankernya bisa diturunkan melalui gen, berarti ada kemungkinan orang-orang terdekatnya juga bisa memiliki kanker yang sama.
Dengan ketegaran dan dukungan orang-orang terdekatnya, Ranti beryekad akan memenangkan perjuangan ini. Kelak suatu hari ia akan dikenal sebagai seorang survivor, bukan korban dari Kanker. Membaca memoar Ranti membuat saya mengenang kembali masa-masa perjuangan Mama. Sayangnya, beliau kalah berjuang melawan kanker ganasnya tepat ketika saya berusia 7 tahun. Sebagai keluarga dari seorang penderita kanker, saya mampu memahami bagaimana perasaan orang-orang terdekat Ranti. Mungkin seperti Sang Suami, yang akhirnya menangis tersedu-sedu ketika melihat helai demi helai rambut Ranti rontok (hal.226), yang ikut-ikutan membuat saya menangis sesenggukan juga (di kereta!!). Atau bagaimana kekakuan Sang Papa yang curhat dadakan sambil nyetir mobil kaya pembalap, sukses membuat mantunya sport jantung dadakan (Hal.172). Tapi Ranti beruntung, dia dikelilingi banyak sekali teman-teman dan sahabat yang benar-benar mendukungnya, di buku ini juga diceritakan bagaimana Ranti bersikap sebagai anak muda yang masih butuh teman buat ngasih perhatian, becandaan, ketawa atau nangis serempakan. Juga sebagai teman yang saling bersikap dewasa, merencanakan masa depan, menghadapi kenyataan.
Buku ini saya baca di kereta, bolak-balik Solo-Jogja, dan karena cara berceritanya yang seru, sukses membuat saya tersenyum-senyum sendiri, lalu tiba-tiba di bagian tertentu saya meneteskan air mata haru, tapi kemudian saya ketawa lagi seringnya karena kekonyolan Sang Suaminya Ranti (Alhasil di kereta diliatin orang-orang, tapi tak masalah, biar mereka penasaran dan siapa tahu jadi ikutan mau baca :p). Di dalamnya juga diberi banyak pengetahuan tentang kanker payudara dan treatment obatnya, jadi baca memoar sekaligus dapat pengetahuan. Keren, kan? Ceritanya Ranti juga mengingatkan saya, bahwa kanker bisa dikalahkan, segala upaya pasti dibalas Tuhan dengan setimpal dan selalu diberikan yang terbaik. :)
5/5 bintang untuk perjuangannya Ranti. Selamat karena telah memenangkan perjuangan melawan penyakit ”terkutuk” itu, kanker.