Juni 14, 2014

Laporan Klub Buku Blossoms tentang buku White Fang





Title : White Fang
Author : Jack London (1906)
Translator : Harisa Permatasari
Editor : Jia Effendie
Publisher : Gagas Media
Edition : Cetakan pertama, 2014
Format : Paperback, vi + 330 halaman

Di tengah-tengah salju di bumi bagian utara, serigala abu-abu ini lahir. Pertemuan pertamanya dengan manusia membuatnya mendapatkan nama White Fang. Serigala kecil yang lahir dari ibu setengah serigala setengah anjing ini memiliki riwayat hidup yang rumit. Ibunya hidup di antara serigala, yang berkat kepandaian, kekuatan, dan kelicikannya, membebaskan kawanannya dari kelaparan. Hingga suatu kejadian membuat dia dan anaknya harus masuk kembali ke kawanan manusia.
Pada perjalanannya, White Fang harus terpisah dengan ibunya, dan dia tumbuh dewasa sendirian. Dia belajar dari rasa sakit dan penderitaan; taring ganas dari karnivora lain, pukulan demi pukulan dari pemiliknya, hingga pengucilan dari sesama kawanan anjing—yang notabene adalah kerabat sekaligus musuh serigala.

Dengan hidung yang terus berkedut, bulu yang berdiri hingga terus bergelombang, lidah terjulur keluar bagaikan seekor  ular merah, telinga menempel ke bawah, mata berkilat penuh kebencian, bibir tertarik ke belakang, dan taring yang terpampang dan meneteskan air liur. (p.147)

Insting dan pengalaman merupakan dua hal yang penting untuknya dalam bertahan hidup. White Fang menggunakan keduanya dengan bijak hingga dia bisa menjadi unggul dalam kawanannya. Dia belajar tentang siapa manusia yang harus diturutinya. Pukulan dari pemiliknya memberitahunya bahwa yang dilakukannya itu salah, atau tidak diizinkan. Geraman anjing lain membuatnya tahu kapan dirinya harus menggeram kepada mereka. Serangan mereka membuatnya tahu kapan harus bertahan. Karena itulah dia menganggap manusia sebagai ‘dewa’nya, karena mereka memerintah dan mengontrolnya dengan pukulan, serta di sisi lain, manusia juga lah yang memberinya makan dan tempat tinggal yang nyaman.

Gerakan White Fang lebih cepat dari anjing lain. Kakinya lebih gesit, lebih lihai, lebih mematikan, lebih luwes, lebih ramping dengan otot dan urat bagai besi, lebih kuat bertahan, lebih kejam, lebih ganas, dan lebih pintar. White Fang harus seperti itu. Kalau tidak, ia tidak akan bisa membela diri ataupun selamat dari lingkungan kejam tempatnya berada. (p.149)



Beberapa kali berada di tangan manusia yang menjadikannya seperti anjing pemburu, penarik kereta salju, sekali berada di tangan manusia kejam yang menjadikannya sebagai anjing petarung, memukuli tanpa belas kasihan, membuat White Fang tak terkalahkan—karena tekad bertahan hidupnya yang sangat kuat. Namun di balik itu, dia menjadi seekor anjing serigala yang kejam dan tak mengenal cinta, sampai dia ‘diselamatkan’ oleh seorang ahli tambang yang tak memiliki pemukul, seorang ‘dewa’ yang asing, yang caranya tak dikenal White Fang.

Bisakah White Fang menyesuaikan diri? Apakah dia akan bisa hidup dengan cara yang lebih ‘jinak’, atau justru semakin liar?

Mbak Bzee bilang,
Saya suka dengan cara penulis yang dapat membawanya ke dalam kehidupan serigala seperempat anjing ini, bahkan Saya percaya bahwa apa yang ditulis oleh penulis berdasarkan data yang akurat. Yah meski demikian, dia sendiri kurang menyukai cara penulis memposisikan White Fang sebagai anjing, dan seolah-olah mendorongnya untuk menjadi sahabat—atau pelayan—manusia. Saya lebih suka seekor serigala, meski memiliki darah anjing, untuk tetap menjadi serigala, liar sesuai kodratnya. Akan tetapi, mungkin memang penulis hendak menyorotinya dalam sudut yang berbeda.
Bagi para pecinta anjing, dan pecinta hewan pada umumnya,  kemungkinan besar akan suka dengan buku ini. Buku yang kaya akan deskripsi makhluk liar yang dijinakkan oleh lingkungannya. Buku yang menunjukkan betapa pentingnya cinta dan kasih sayang, kepada makhluk apa pun di atas bumi ini.
Oh dan satu lagi : Kata Mba bzee : “beruntung sekali saya dapat yang klasik  :)”

Kata Dyah :
Buku ini aku dapatkan dari arisan buku GagasMedia dan Bukune dan baru mulai dibaca tanggal 28 Mei kemarin. Jujur, awalnya udah semangat banget baca buku ini. Apalagi setelah membaca tweet seseorang yang sepertinya sangat menyukai buku ini. Tapi entah kenapa, di awal membaca aku benar-benar kesulitan memahami kata-katanya. Susah sekali mengimajinasikan deskripsi yang diberikan. Akibatnya, buku ini pun tertunda dibaca.
Hingga seminggu yang lalu Mbak Vina memberikan deadline seminggu untuk mengirimkan review buku ini ke email. Dan aku baru benar-benar mulai membacanya itu kemarin.

Sama dengan sebelumnya, bagian awal begitu sulit dipahami. Ada beberapa kata yang terlalu "tinggi", dan aku ga tau apa artinya. Tapi ketika "dipaksakan" membaca dan tiba di bagian pertengahan, aku mulai menyukainya.  Bahasanya masih terkesan kaku, tapi bisa dipahami. Ceritanya juga "menagih", aku selalu penasaran dengan apa yang bakal dihadapi oleh si White Fang. Terpana dengan bagaimana cara White Fang belajar, memahami dan beradaptasi dengan Alam Liar. 

Aku lupa pernah membaca buku dengan "sudut pandang" hewan atau tidak, tapi aku suka dengan buku ini. Ditulis dengan sudut pandang orang ketiga dan lebih banyak menceritakan dari segi White Fang. Bagaimana seekor serigala yang seharusnya liar ternyata punya keinginan untuk setia pada tuannya. Yah meskipun sebenarnya si White Fang ini anjing separuh serigala, sih.

Udah gitu lumayan terharu dengan bagaimana cara White Fang melindungi diri dari segala musuhnya, apalagi ketika dia dibeli oleh si Beauty Smith. Beauty Smith yang kejam, dan kejamnya lagi White Fang dijadikan  Si Serigala Petarung.

Dengan mengabaikan bagian awal dan tetap membaca, buku ini lumayan menarik. Kita bisa belajar dari si White Fang. Bagaimana gigihnya ia dalam mempertahankan hidup, bagaimana memperlakukan orang yang jahat dan baik terhadap kita, dan yang paling menarik, bagaimana cara beradaptasi.

Ada satu hal yang lucu tentang adaptasinya White Fang. Insting serigala jika bertemu sekumpulan ayam adalah menyerang dan memakannya. Tapi karena perintah "tuannya", White Fang bisa bertahan di dalam kandang yang penuh dengan ayam tanpa melukai seekor ayampun XD

Kata Mbak Rini :
White Fang hidup dalam kekejaman Alam Liar dan pengabdian pada dewa yang kejam, memerintah dengan kejam, menerapkan keadilan dengan sebatang tongkat pemukul, menghukum pelanggaran dengan sakitnya pukulan, dan memberi imbalan atas kehebatan, bukan dengan kebaikan, melainkan dengan menahan pukulan. Dia tak mengenal ‘cinta’ dan ‘kasih sayang’ yang ditawarkan Scott. White Fang hanya tahu hukuman. Jadi, ketika dia menurut pada salah satu dewa, itu karena dia tak ingin mendapat hukuman lebih kejam. Hubungan White Fang dan Scott membuat saya terharu. 

Membaca kisah si Taring Putih ini seperti melihat tayangan film National Geographic. Mengingatkan saya pada novel klasik the Yearling dengan detail-detail hutan dan semua tempat yang terdeskripsikan secara “nyata”.
Karakter White Fang yang kuat membuat saya jatuh simpati. Antara kagum dan kasihan. Di halaman 138, saya meneteskan air mata atas perpisahan White Fang dengan ibunya, Kiche.
Alam Liar memang kejam, tetapi ternyata manusia yang disebut dewa oleh White Fang bisa jauh lebih kejam. Hewan mungkin saling membunuh tapi itu untuk bertahan hidup, sedangkan manusia bertindak kejam atas dasar hiburan. 

Pengalaman Jack London bekerja di Yukon, yang menjadi setting cerita ini, mungkin yang membuatnya dapat menggambarkan White Fang dengan segala perasaan dan instingnya dengan begitu detail sekaligus menyentuh.
Kisah White Fang menumbuhkan perspektif baru tentang dunia binatang dan cinta yang bisa kita berikan. 

Kata Sulis :
Emmmm, komen apa ya? Hehhhe.
Bagian awal alurnya agak lambat jadi agak bersabar bacanya, baru setelah bagian tiga cerita mulai seru karena sosok White Fang udah muncul banyak. Bagian satu dan dua lebih banyak bercerita tentang sejarah White Fang sebelum lahir, bagaimana asal mula kedua orang tua White Fang bertemu dan bertahan di alam liar.

Sedangkan bagian tiga bercerita tentang White Fang yang mulai mengenal manusia dan kekejamanna, membuat dia memyadari kalau dirinya adalah budak dan harus tunduk agar bisa bertahan hidup. Sejak bertemu dengan manusia membuat dia lemah, baik pertahanan dan perasaannya, dia mulai menyadari ibunya lebih memilih bersama manusia daripada berdua dengannya di alam liar.
Terus bagian paling sedih itu waktu dia dipisahin sama Ibunya secara paksa, dipukuli juga, karena itu dia jadi berubah seperti nggak punya perasaan lagi.

Kalo kata saya sih :
Membaca White Fang pada awalnya adalah sebuah pertarungan, haha. Pertarungan antara menyerah dan kewajiban menyaur utang kepada Gagas Media-Bukune yang telah memberikan buku ini untuk dibedah oleh kami. Pada awalnya, sama seperti kesan teman yang lain White Fang cukup membosankan, baru setelah masuk ke bagian ketiga, mulai seru deh kisah hidup si White Fang ini.
Hal yang paling berkesan buat saya itu waktu White Fang akhirnya diselamatin sama seseorang ketika ia menjadi seekor srigala pertarung. Karena dia saat itu sudah terlampau lama disiksa sama manusia, apalagi dia seekor srigala-anjing yang cerdas, maka pada awalnya dia juga penuh dengan kecurigaan terhadap orang yang menyelamatkannya.
Sedangkan Scott, adalah orang yang sabar dan penuh rasa cinta. Dia mingkin seorang pencinta anjing yang luar biasa sampai-sampai berani mempertaruhkan nyawanya untuk mencoba menjinakkan White Fang.
Oh iya, ada typo di halaman 232, ketika Beauty Smith ditulis sebagai Beauty White.

Demikian curhat kami setelah membaca buku ini.
Terima kasih atas kesempatan mereview White Fang, wahai Gagas Media dan Bukune. :D


1 komentar on "Laporan Klub Buku Blossoms tentang buku White Fang"

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Salam,

Salam,