Judul Buku : Kota ini Kembang
Api
Penulis : Gratiagusti Chananya
Rompas
Desainer sampul & ilustrasi
: Adiputra Singgih
Tebal : 104 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka
Utama
Cetakan pertama : September 2016
Mereview buku puisi itu susah
susah gampang. Lebih banyak susah daripada gampangnya. Tapi rasanya sayang
banget kalau saya ngga ngereview buku yang satu ini.
Pertama saya tahu buku ini eksis
adalah melalui twitter. Kota ini Kembang Api, judulnya sederhana tapi memikat. Saya
terus kepikiran, puisi macam apa yang kira kira ada di dalamnya. Mengapa
Kembang Api? Ada apa dengan kota tersebut, dan pertanyaan pertanyaan lain makin
membuat saya penasaran sampai memutuskan mengunduh buku ini di Scoop.
Ada puluhan judul puisi di buku
ini, sebagian besar merupakan puisi yang singkat, habis dalam beberapa bait
pendek namun juga ada puisi puisi yang berbait cukup panjang. Tema yang diambil
hmm tidak semuanya tentang cinta sih, tapi kesan yang muncul setelah saya baca
memang sebagian besar puisi puisinya romantis melankolis.
Sebuah puisi biasanya memiliki
pilihan kata yang memikat. Pun demikian dalam buku ini. Ada beberapa kalimat
yang terus terngiang ngiang di pikiran saya bahkan setelah saya selesai membaca
halaman terakhirnya. Ada kalimat kalimat romantis ala pujangga yang membuat
saya meleleh saat membacanya. Ugh. Ini salah satunya,
di atas : bintang bintang
menyesakkan langit
di bawah : sejuta neon
menyilaukan kota
di sini : hela nafasku
menghampiri telinga
Saat membaca, saya juga menemukan
unsur unik lainnya dalam puisi di buku ini, yaitu susunan atau bentuk puisi
yang menarik. Yup, seperti yang kita tahu, bahwa seni dalam menulis puisi tak
hanya terbatas dalam tema atau pilihan katanya melainkan juga mencakup
bentuknya. Dengan bentuk yang unik ini, saya sebagai pembaca jadi lebih
tertarik juga untuk membacanya. "Kesedihan yang Sangat Tua"
dan "Mabuk Lampu" adalah contoh dua puisi yang punya keunikan dalam tipografinya.
Pada puisi Mabuk Lampu, susunan kata katanya berulang dan berdempetan tanpa spasi
disertai penulisannya yang jungkir balik sampai sampai kita harus membalikkan
buku untuk dapat membaca kalimatnya. Ya meski saya juga ngga ngerti banget sih
pesan apa yang dikandung oleh puisi itu. Mungkin saking banyaknya lampu serupa
sampai ia mabuk melihatnya? Maklum, saya tak terlalu pintar dalam menangkap
atau menerjemahkan pesan atau isi sebenarnya dari sebuah puisi. Karena itu saat
membaca buku ini, saya ngga ambil pusing tentang isinya.
Oh ada lagi, ilustrasi di buku
ini amat cantik meski sederhana. Apalagi karena saya membaca dalam format
ebook, maka ilustrasi ini juga berwarna. Yah, saya ngga tau sih kalau di buku
cetaknya gimana, tapi yang pasti kalau ada warnanya tentu jauh lebih menarik,
ya kan?
Setelah membaca puisi terakhir
di buku ini, saya tergoda untuk membacanya berkali-kali lagi. Saya tergoda
untuk jatuh dalam keheningan yang ditimbulkan dalam tiap puisinya. Setiap judul
seakan memberikan magnet bagi saya untuk terus mencecapnya, kembali dan lagi. Saya
merasakan perasaan rindu, haru, rasa kesepian sekaligus kehampaan yang muncul
dalam puisi-puisinya.
Terus saya jadi kangen nulis
puisi...