Judul Buku : Juru Tato dari Auschwitz ( The Tattooist of Auschwitz)
Penulis : Heather Morris
Alih bahasa : Lulu Wijaya
Editor : Rosi L Simamora
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama : 2018
Tebal : 304 halaman (baca di Gramedia Digital)
ISBN : 978-602-06-4281-9
Hanya kematian yang abadi di tempat ini
Kereta hewan itu menuju Auschwitz, bukan berisi sapi atau hewan ternak lainnya. Melainkan berisi pria-pria yang berdesak desakan dengan paksa di setiap gerbongnya, Lale termasuk salah satunya.
Sebagai seorang Yahudi, Lale mengetahui adanya pengumuman untuk menyetorkan seorang lelaki dari setiap rumah untuk membantu pemerintah Jerman yang sedang berperang. Maka berangkatlah ia dari kota kecilnya di Slovakia, menuju Praha untuk kemudian dibawa ke camp konsentrasi pekerja paksa.
Setelah diproses penatoan dan pemberian seragam, Lale dan kelompoknya dibawa ke Auschwitz dua yang juga disebut Birkenau. Di sini ia ditempatkan di Blok 7 bersama beberapa tahanan lainnya.
Selang beberapa bulan, Lale terkena tifus yang cukup parah hingga tak sadar beberapa hari. Tetapi teman temannya menjaganya agar tetap hidup dan tidak ketahuan penjaga SS. Ketika ia akhirnya bangun, ia bertemu Sang Penato di kamp tersebut dan dijadikan asisten.
Tapi suatu hari, sang penato tak pernah muncul lagi. Sejak itulah hari-hari Lale sebagai Tatowierer dimulai.
Di antara duka dan derita para tahanan, Lale mengenal seorang gadis bernama Gita dan jatuh cinta padanya. Dengan koneksinya, segala cara Lale lakukan agar membuat Gita sedikit lebih nyaman di kamp tersebut. Bahkan meski beresiko bagi keselamatan Lale sendiri.
Seperti cerita berlatar Auschwitz lainnya, di buku ini juga diceritakan kekejaman tentara Jerman. Mulai dari ransum yang tak layak, dihajar secara brutal, krematorium masal, dan hal hal tidak berperikemanusiaan lainnya.
Meskipun saya sudah lama mendengar cerita bahwa penghuni kamp-kamp Jerman ditato dengan nomor nomor tertentu, tapi saya tak pernah membayangkan seperti apa kehidupan penato di sana. Jadi ketika saya baca sinopsis buku ini, saya langsung tertarik dan penasaran. Seperti apa rasanya bersentuhan langsung dan menandai ribuan pesakitan dengan besi panas. Apakah ia orang Jerman juga? Apakah ia hidup berkecukupan di kamp? Apakah dia punya keluarga? Dan hal hal sederhana yang menggelitik rasa ingin tahu saya seperti di mana dia tidur? Apakah dia punya teman di kamp? Dan bla bla bla begitulah.
Sayangnya entah kenapa saya kurang puas membaca kisah Lale. Mungkin karena kebanyakan kisah antara dia dan Gita? Tapi kan ya mau gimana lagi, wong ya ini utamanya kisah Lale yang jatuh cinta ama Gita. Dan situ tau sendirilah gimana gandrungnya seorang yang lagi jatuh cinta. Tapi saya memang sepertinya ketinggian berekspektasi, tadinya saya kira si Lale ini ceritanya bakal bikin penasaran. Siapa siapa saja orang yang telah dia tato, bagaimana interaksinya, dan bla bla begitulah lainnya. Ternyata Lale justru meminimalkan sekali interaksi dengan orang orang yang ia tato. Yang manaa amat sangat masuk akal untuk dilakukan. Coba aja situ bayangin kalau dia berinteraksi lebih dari sekadar menato, dengan hatinya yang lembut dan ngga tegaan, udah pasti bakal banyak masalah yang ia timbulkan. Dari sini saya cukup salut sih bagaimana Lale mampu menutup hatinya saat menato ribuan orang. Untung aja dia ngga jadi gila karena pekerjaannya bertentangan dengan nuraninya.
Bagaimanapun, Gita memegang peran penting dalam hari hari yang berhasil dilalui Lale di kamp ini, entah seberapa pahitnya. Lale telah berjanji akan bebas dari kamp ini dan melanjutkan kehidupannya bersama Gita, sehingga baginya setiap hari yang berhasil dilalui adalah kemenangan kemenangan besar yang patut dirayakan.
Belajar dari Lale, mungkin kita juga seharusnya merayakan hal hal yang terlihat sederhana yang berhasil kita lakukan. Bagaimanapun, masih bisa hidup sehat dan tidur nyenyak tiap hari di masa pandemi ini adalah sebuah kemenangan tersendiri.
Buat saya, empat bintang untuk kisah Lale dan Gita.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar