“Mengisi Liburan Dengan Membaca Bersama Bukukita.com dan Ufuk Publishing House”
Judul Buku : City of Thieves –
Kota Para
Pencuri
Penulis : David Benioff
Penerjemah : Meda Satrio
Penyunting : Helena Theresia
Penerbit : Ufuk Publishing House
Cetakan Pertama : Agustus 2010
ISBN : 978-602-8801-32-4
Pelajaran Sejarah adalah salah satu pelajaran yang sebenarnya
saya suka, baik saat SMP maupun SMA, terutama tentang sejarah dunia. Mengikuti
pelajaran sejarah itu seperti naik mesin waktu lalu pergi ke masa lalu. Jauh di
mana peradaban manusia tidak semodern sekarang, dimana kisah yang diceritakan
sebagian besar adalah revolusi, perebutan kekuasaan dan perperangan. Sayangnya
tak banyak guru yang bisa menceritakan kisah masa lalu ini dengan tepat, selain
nama tokoh yang cenderung sulit dihafalkan, kurangnya pembangunan suasana juga
menjadi faktor lainnya yang mempersulit penangkapan murid terhadap sejarah.
Cara lain untuk menikmati sejarah adalah dengan membaca buku, seperti buku yang
satu ini.
Nama anak laki-laki itu adalah Lev atau lengkapnya, Lev Abramovich Beniov. Suatu malam ia dan teman-temannya tertangkap basah oleh pasukan Rusia
ketika sedang menjarah mayat seorang tentara Jerman. Teman-temannya lolos,
sayangnya tidak demikian dengan Lev, ia tertangkap dan dibawa ke Penjara
Kresty. Di sana
ia ditempatkan satu sel bersama seorang tentara yang dituduh sebagai desertir
(orang yg lari meninggalkan dinas ketentaraan atau membelot kpd musuh) bernama
Kolya, lengkapnya Nikolai Alexandrovich Vlasov.
Hukuman mati mereka berdua ternyata ditunda, bahkan akan
dibebaskan jika mereka dapat melakukan tugas yang amat penting dari Kolonel
Grechko, yaitu mencari satu lusin telur yang akan digunakan dalam membuat keik
di pernikahan anak perempuannya. Sebenernya ini bisa dibilang permintaan yang
gila saat itu, bayangkan saja di tahun itu Perang yang berlangsung antara Jerman
dan Rusia telah membuat banyak warga kelaparan. Jangankan makanan enak, yang
layak dimakan saja hampir bisa dibilang tidak ada lagi.
Lalu ke mana dua orang
ini bisa menemukan telur-telur sebagai syarat pembebasan itu? Apalagi Sang
Kolonel mengambil kartu ransom mereka sebagai jaminan bahwa mereka akan kembali
lagi membawa telur-telur tersebut. Saat itu kartu ransom adalah barang yang
sangat penting, tanpa kartu ransum bisa dipastikan kamu akan mati kelaparan
terlebih saat itu musim dingin sedang melingkupi Rusia.
Perjalanan mereka kemudian dimulai, berdua mereka mengunjungi
Haymarket, pasar gelap tempat berbagai transaksi jual beli dilakukan. Di pasar
ini mereka mendapat info bahwa ada seorang petani di dekat Gerbang Narva
memelihara ayam-ayam yang menghasilkan telur.
Akankah Lev dan Kolya mendapatkan telur sesuai permintaan
Kolonel?
Ah, membaca buku ini benar-benar membawa saya ke pandangan
sebuah cerita sejarah yang diceritakan secara berbeda. Biasanya saya mendapati
kisah sejarah hanya berisi kesedihan dan kemuraman tokoh utamanya, ditambah
suasana duka sebagai latar belakangnya. Benar-benar menghabiskan tenaga saat
membacanya, apalagi kalau kalimat-kalimatnya panjang dan berdiksi ‘berat’.
Tapi buku City of Thieves ini berbeda, meski mengusung tema
Historical Fiction, kehadiran dua tokoh utama yang unik membuat buku ini lebih
‘hidup’ dan berwarna.
Lev, sebagai sudut pandang orang pertama yang
menceritakan kisah di buku ini memiliki karakter yang cenderung lembut untuk
laki-laki. Mungkin karena usianya juga masih belasan tahun, ia memang memiliki
semangat tinggi untuk membela Negara, tetapi terkadang ketika ia berhadapan
langsung dengan peperangan atau pembunuhan, tak banyak yang bisa ia lakukan
selain bersembunyi dan ketakutan.
Singkat kata, ia memang bukan jagoan.
Tapi Lev adalah sosok yang setia kawan, terlihat saat mereka
menghadapi sepasang suami istri kanibal, Lev tidak mau meninggalkan Kolya
sendirian meski sebenarnya Lev bisa melarikan diri dengan mudah.
Sedangkan Kolya bisa dibilang kebalikannya Lev, ia tipe
pemberani, cuek, seenaknya sendiri dan tipe penyerang. Ia tidak segan-segan
melontarkan kalimat-kalimat sarkatis bahkan terkadang terkesan menghina, meski
sebenarnya ia hanya bercanda. Kolya adalah seorang pencinta sastra, ia terbiasa
mengutip syair-syair para pujangga atau sekadar membicarakan tokoh dari buku
yang pernah ia baca.
Perbedaan keduanya ini yang membuat saya tertawa, sedih atau terkadang
merasa sesak karena lega ataupun duka saat mereka bersama-sama. Percakapan yang unik, saling menyidir bahkan terkadang hampir berantem beneran, berulangkali menyelamatkan saya dari kebosanan yang mungkin muncul karena detail. Ya, detail lokasi dan peristiwa yang ada di
buku ini memang cukup ‘berlimpah’, tapi detail malah membuat saya mampu
membayangkan dengan jelas kejadian saat itu. Lalu ide cerita yang keren.
Sungguh, kalau saja ide mencari telur bisa dibilang biasa, tapi penulis mampu
memilih latar waktu dan peristiwa yang membuat pencarian telur ini menjadi
istimewa.
Konflik-konflik selingan juga memiliki kekuatannya sendiri,
seperti ketika mereka bertemu wanita-wanita cantik di sebuah rumah di tengah
hutan, atau ketika menyelinap di antara tawanan tentara Jerman. Kisah persahabatn
yang unik antara Lev dan Kolya membuat saya menitikkan air mata di akhir
cerita. Entah karena bahagia atau sedih, yang pasti saya tahu saya lega karena
demikianlah akhirnya.
Satu kutipan yang saya suka
"Ada suatu bagian dalam diri kita, tempat rasa lapar, keletihan, dan waktu sepenuhnya tak lagi berjalan dan penderitaan tubuh tampaknya bukan lagi milik kita sepenuhnya."-Hal. 450
Penasaran?
Silakan membaca buku ini lalu bertualanglah di Rusia demi dua
belas telur untuk pesta pernikahan. :)
Fakta terkait sejarah di buku ini.
Leningrad, daerah
tempat tinggal Lev benar-benar merupakan lokasi terjadinya peperangan antara
Rusia dan Jerman, terutama pada saat perang dunia kedua meletus. Pada tahun
1991, daerah ini diubah namanya menjadi St. Petersburg, daerah yang mungkin
lebih kita kenal sekarang. Pengepungan Jerman terhadap Leningrad terjadi selama
871 hari, yaitu antara 8 September 1941 – 27 January 1944 dengan Jerman yang
akhirnya bisa dipukul mundur.