Judul
Buku : By The Time You Read This, I’ll be Dead
Penulis
: Julie Anne Peters
Penerjemah
: Hedwigis C Hapsari
Penerbit
: Noura Books
Cetakan
pertama : April 2015
Tebal
: 322 halaman, paperback
ISBN
: 978-602-0989-13-6
Dua puluh tiga hari? Itu terlalu lama. Aku siap sekarang.
Saya
rasa sebagian besar orang pernah dibully, entah mereka sadar atau tidak sadar.
Bagi saya, bullying adalah istilah yang baru saya ketahui berkat membaca.
Sebelumnya saya hanya tahu istilahnya sebagai ejekan, hinaan dan semacamnya
terhadap orang lain yang "berbeda". Sialnya, selain menjadi korban,
saya lalu sadar kalau dulu juga pernah menjadi salah satu orang yang melakukan
bullying terhadap orang lain. Meski saat itu saya pikir hanya
"bercanda" seperti anak anak umumnya. Yah, anak anak bisa menjadi sangat
kejam, kau tahu. Melalui post ini, saya pribadi mohon maaf jika kalian pernah
menjadi korban pem-bully-an saya :(
Daelyn merupakan korban yang terpuruk dalam penghinaan yang dilakukan teman temannya. Percobaan bunuh dirinya telah berkali-kali gagal, mulai dari mengiris nadi sampai menenggak cairan pemutih, percobaan itu hanya membuatnya dan orang tuanya menderita. Kali ini ia bertekad untuk tak akan gagal lagi. Terutama setelah ia menemukan sebuah situs internet yang memang ditujukan kepada mereka yang memiliki niat untuk bunuh diri, Menembus-cahaya(dot)com. Setelah mendaftarkan diri di situs itu, ia mulai menghitung mundur waktu kematiannya yaitu di 23 hari mendatang. Selama menghitung mundur itulah kita diajak Daelyn mengupas masa lalunya yang kelam dan suram, bahkan ia beranggapan ayah dan ibunya tidak pernah memahami keadaannya.
Kehidupan
Daelyn makin diawasi oleh orang tuanya, sebagai anak satu-satunya, tentu saja
keselamatan Daelyn semakin menjadi prioritas. Mereka mengantar dan menjemput
Daelyn secara bergantian ke sekolah, mengatur jadwal pertemuan ke psikiater,
dan berbagai cara lainnya yang bertujuan mencegah Daelyn untuk melakukan bunuh
diri lagi.
Sementara waktu bergulir menuju hari "kebebasannya", Daelyn bertemu dengan orang lain di dalam rutinitas sekolahnya. Seorang anak laki laki yang nyentrik bernama Santana, yang kebetulan tinggal di dekat sekolah Daelyn. Terus bagaimana kisah Daelyn di hari-hari terakhirnya? Apakah Santana kelak menjadi orang pertama dan terakhir yang menjadi sahabat Daelyn?
Sebenarnya ceritanya cukup menarik, terutama karena tema yang diambil adalah tentang bullying. Sayangnya, penyelesaian cerita terlalu biasa-biasa saja, ngga ada twist yang saya harapkan ada di dalam cerita. Yang ada malah berbagai cara yang cukup detail untuk bunuh diri. Kehadiran Santana juga kurang berkesan buat saya, lalu kejadian-kejadian lainnya yang berhubungan dengan misi bunuh diri Daelyn juga terasa terlalu kebetulan.
Tapi bagaimanapun juga, saya berharap buku ini bisa membuka pengetahuan lebih luas para pembacanya tentang bullying serta karakter mereka yang merupakan korban bully. Pola pikir mereka, ketakutan ketakutan yang ada di benak mereka, rasa ketidak percayaan diri dan lain hal sebagainya yang bisa dengan mudah memicu emosi mereka menjadi semakin rendah diri sampai sampai memutuskan untuk bunuh diri seperti Daelyn.
Daelyn
tidak memiliki rasa percaya diri, ia selalu merasa rendah diri dan tak pantas
berada di lingkungan teman-temannya yang selalu mencemooh dia. Pandangan
orang-orang yang mengiba sekaligus mencela makin emmbuat Daelyn semakin nekad
untuk menghabisi nyawanya, dengan anggapan kalau ia nanti mati, ia akan bebas
dan orang tuanya tak akan menanggung malu karena memiliki anak yang tak
sempurna.
Sebagai
seorang Ibu plus sebagai anak yang pernah mendapat bullying di sekolah, saat
membaca kisah Daelyn ini saya merasa kasihan karena saya tahu seberapa besar
ketakutan-ketakutan Daelyn terhadap teman-temannya di sekolah. Apalagi ketika
ia bercerita kepada orang tuanya, eh malah orang tuanya menyepelekan laporan
Daelyn tersebut. Di lain pihak, mungkin saja orang tua Daelyn merasa perlu
menutup mata dan menganggap bahwa perlakuan anak-anak itu biasa saja. Paling
hanya mengejek, menghina, dan sebagainya. Tapi kalau saja mereka mau lebih
mengerti, bahwa ejekan sekecil apapun tentu akan membekas di hati anak-anak.
Apalagi ketika Dealyn selalu direndahkan, disepelekan, yah, dukungan orang
tualah yang seharusnya menjadi tameng pertama sang anak dalam menghadapi kasus
bullying. Kalau bukan kepada orang tua, kepada siapa lagi mereka akan
bercerita?
Saya
ingat ketika dulu dibully dan saya tinggal jauh dari orang tua, nenek saya
dengan berani dan tegas mendatangi rumah siswa yang membully saya. Sejak itu
saya disebut pengadu, bakan perilaku mereka makin menggila. Saya disandung di
jalan, air minum saya diganti dengan air seni, rambut saya dijambak, yah
begitulah. Saya benar-benar nggak betah, tapi saat itu saya nggak bisa pindah
sekolah. Mau nggak mau saya harus menerima kenyataan bahwa saya akan
menghabiskan 3 tahun bersekolah di neraka itu. Dua tahun pertama saya mencoba
bertahan, sampai tahun ketiga saya membuktikan bahwa saya bisa berprestasi. Saya
mencoba menulikan telinga dan membutakan mata dari kelakuan mereka. Saya rela
berjalan sejauh 6 kilo hanya agar tidak naik satu angkutan dengan mereka. Mungkin
doa-doa dari orang-orang terdekat saya, mungkin juga karena mereka akhirnya
bosan mengganggu saya. Setiap kali mereka mengolok olok, saya coba untuk
abaikan, saya coba membangun benteng saya sendiri. Waktu istirahat saya
habiskan di perpustakaan sendirian. Tiga tahun neraka itu akhirnya berhasil
saya lewati, berdarah-darah. Apakah bullying itu selesai? Tentu saja tidak.. di
tahun berikutnya, di sekolah berbeda, bullying itu muncul lagi meski tak
separah di sekolah lama. Saya toh mulai cuek, saya mulai suka menyendiri, saya
mulai suka emmasang tampang judes. Apapun asalkan saya tidak lagi diganggu dan
tidak tampak terlihat menyolok. Apapun asal saya tidak dibully lagi.
Sekarang
saya mencoba mendengarkan setiap keluhan anak saya sepulang sekolah. Saya bertanya
bagaimana kelakuan teman-temannya terhadap dia di sekolah. Siapa yang suka
mengolok-oloknya, dan tentu saja saya tipe ibu ibu yang “niteni”, kalau satu
anak sudah terlihat berperilaku tidak menyenangkan atau membully anak saya,
akan saya tegur anak itu saat di sekolah. Kalau perlu akan saya datangi orang tuanya.
Sebab bullying itu perlu ditangani dengan sungguh-sungguh, bukan hanya sekadar
membesarkan hati si korban.
bullying udah makin sering terjadi. kadang ngeri juga liatnya :(
BalasHapusKenapa waktunya cuma 23 hari?
BalasHapus