Judul
Buku : Still Alice
Penulis
: Lisa Genova
Penerjemah
: Anindita Prabaningrum
Penerbit:
Esensi
Cetakan
Pertama : Agustus 2015
Tebal
: 320 halaman, paperback
Kau tidak ditinggal sendirian, Ali. Aku ada di sini bersamamu. -191
Ini
kali kedua saya membaca Still Alice. Salah satu buku yang membuat saya terkesan
karena tokoh-tokohnya diceritakan dengan sangat manusiawi.
Alice
Howland tidak pernah menyangka di usianya yang baru lima puluh tahun, di puncak
kesuksesannya sebagai Profesor Psikologi Kognitif di Harvard, ia divonis
menderita Alzheimer. Suaminya pada awalnya tak percaya, tetapi setelah
melakukan tes genetika, Alice terbukti mengalami mutasi autosom yang memperkuat
fakta bahwa ia memang terkena penyakit Alzheimer. Semenjak itu, hari-hari Alice
tak lagi mudah dilalui. Ia harus memberitahu ketiga anak-anaknya karena ada
kemungkinan bahwa mutasi ini dapat diturunkan secara genetika. Padahal Anna,
anak pertamanya, sedang merencanakan kehamilan. Alice juga harus berhenti dari seluruh
kegiatan mengajarnya, berhenti mengisi seminar, berhenti dari segala aktivitas
yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Seakan
tak cukup menyakitkan, Alice makin merasakan efek dari penyakitnya. Ia mulai sering
hilang orientasi, melupakan wajah anak-anaknya, melupakan wajah John, suaminya,
ia juga lupa dengan rumahnya. Hari-hari Alice makin dicekam ketakutan, ia
menulis berbagai rencana kegiatannya di telepon genggam, memastikan agar semua
yang terjadwal dapat ia lakukan. Tetapi itupun tak luput dari serangan
Alzheimernya, ia bahkan tak sengaja menaruh telepon genggamnya di microwave.
Sampai
suatu hari ia menghubungi orang-orang yang juga mengalami Alzheimer sepertinya
di usia yang masih produktif. Mereka mengobrol, berbagi cerita dan saling
mendukung agar masing-masing tidak merasa kesepian. Karena sebaik-baiknya
dukungan keluarga, tentu akan lebih baik jika Alice dapat berbagi cerita
bersama mereka yang senasib dengannya. Dengan mereka ia merasa jadi lebih dimengerti
dan dipahami, dan semangatnya mulai tumbuh lagi. Puncaknya ketika akhirnya ia
menyampaikan presentasi di Konferensi Peduli Demensia, bukan sebagai seorang
ahli, tetapi sebagai seorang penderita Alzheimer. Di sana ia bercerita tentang
pengalamannya, tentang harapan-harapannya agar kedokteran mampu mendeteksi
penyakit ini lebih cepat sehingga semakin cepat mendapatkan pengobatan. Alice
juga berharap agar orang-orang sepertinya tidak dikasihani, dikucilkan, seakan
memiliki penyakit aneh yang menular, ia berharap agar penderita Alzheimer
sepertinya diberdayakan, bukan ditinggalkan.
Lalu apakah usaha Alice berhasil dalam meyakinkan orang orang di sekitarnya tersebut? Bahwa meskipun ia memiliki Alzheimer, ia masihlah seorang istri, ibu dan masihlah seorang Alice Howland.
Saya akan melupakan hari ini, tapi tidak berarti bahwa hari ini tidak berarti.-259
Meski
saya bersimpati terhadap Alice, tapi sosoknya menginspirasi saya, terutama
dalam keterbatasannya, ia masih terus berupaya untuk menyatakan pada dunia sekitarnya
bahwa ia ada, ia mampu memutuskan pendapat, ia bisa memberi masukan dan hal-hal
lainnya yang menegaskan kehadirannya pada orang-orang di sekitarnya. Membaca
kisah Alice terasa sangat manusiawi. Tokoh tokohnya tak ada yang sempurna,
Alice juga tidak digambarkan sebagai wanita yang luar biasa tangguh, ada saat-saat
ketika ia merasa sangat terpuruk secara emosional bahkan berencana bunuh diri
karena ia takut menjadi pribadi yang lain yang tidak disukai orang orang di
sekitarnya karena Alzheimer. Terlebih lagi, John, suaminya, sangat sulit
menerima kenyataan bahwa istrinya menderita Alzheimer. Mungkin dia tidak rela
melihat orang terkasihnya berubah, meskipun demikian, John mau turut serta dalam pengobatan
istrinya, seperti mengantarnya check up, mencari penelitian obat alternatif
yang menjanjikan, menemani Alice lari setiap sore, atau hal hal kecil lainnya.
Tapi John juga keras kepala, ia sering menganggap Alice tak lagi penting,
mengabaikan pendapatnya, bahkan makin lama makin sibuk dengan pekerjaannya demi
menutupi perasaan kecewa karena istrinya perlahan mulai berubah.
Novel ini juga sudah difilmkan meski tidak selengkap seperti cerita di dalam buku. Beberapa adegan dipotong dan terasa kurang greget dibandingkan novelnya. Bagi saya novelnya lebih menguras emosi pembacanya.
Still Alice membuat saya jadi lebih dapat memandang para penderita Alzheimer dengan cara yang lebih kompleks. Mereka manusia biasa yang ingin eksistensinya tetap diperhatikan oleh kita. Buku terbitan Esensi (imprint Erlangga) ini memang sayang kalau dilewatkan. Selamat membaca :)
Tambahan :
Berikut gejala umum Demensia Alzheimer yang ditulis di bagian belakang buku ini
1. Gangguan Daya Ingat
2. Sulit Fokus
3. Sulit Melakukan Kegiatan Familiar
4. Disorientasi
5. Kesulitan memahami Visuo Spasial
6. Gangguan berkomunikasi
7. Menaruh barang tidak pada tempatnya
8. Salah membuat keputusan
9. Menarik diri dari pergaulan
10. Perubahan Perilaku dan Kepribadian
Selain penjelasan gejala-gejala di atas, buku ini juga memuat tentang Alzheimer Indonesia (ALZI) serta sumber informasi untuk Orang dengan Demensia di Indonesia. Sangat bermanfaat sekali.
oo ini buku tentang alzeimer ya, mba? sukses lombanya. :D
BalasHapus